Ilustrasi Pajak (Liputan6.com/Andri Wiranuari)
Jakarta – Wahyudi Askar, Direktur Kebijakan Fiskal Center of Economic and Law Studies (Celios) Media, mengungkapkan fakta yang mengejutkan tentang beban pajak Indonesia.
Hasil penelitian Celios menunjukkan bahwa orang miskin membayar pajak dengan persentase penghasilan yang lebih besar dibandingkan orang kaya. Kondisi ini menunjukkan ketimpangan fiskal yang sebenarnya dan menunjukkan bahwa sistem perpajakan nasional menghadapi masalah besar.
“Kami melakukan estimasi dari data-data statistik dan kita menemukan fakta yang sebetulnya cukup ironi. Karena kalau kita lihat berdasarkan persentase pendapatan, masyarakat miskin itu membayar lebih banyak secara persentase untuk pajak ketimbang orang superkaya,” kata Media dalam Launching Riset Celios ‘Jangan Menarik Pajak Seperti Berburu di Kebun Binatang’, di Kantor Celios Jakarta Pusat, Selasa (12/8/2025).
Menurutnya, setiap potongan pajak memiliki dampak yang signifikan, karena beban pajak yang tinggi bagi masyarakat miskin disebabkan oleh proporsi pendapatan mereka yang relatif kecil.
Namun, individu dengan pendapatan bulanan puluhan miliar tidak membayar pajak dalam proporsi yang sebanding dengan pendapatan mereka. Kesimpangan ini meningkatkan keyakinan bahwa sistem pajak tidak adil.
Dalam diskusinya, media mengatakan bahwa “superkaya” bukan sekadar orang dengan pendapatan 40 juta atau 100 juta per bulan, tetapi orang dengan pendapatan puluhan miliar per bulan.
“Mereka yang penghasilannya itu bisa puluhan miliar dalam satu bulan. Bahkan Warren Buffett pun juga bilang bahwa, kenapa orang superkaya itu gak membayar pajak secara persentase dengan signifikan, karena orang superkaya juga bingung dan tidak bisa melaporkan ke sekretarisnya secara self-assessment berapa putaran uang yang ada di kantongnya sendiri. Dan begitu banyak capital gain yang belum direalisasikan,” jelasnya.
Celah Pajak Orang Superkaya Masih Lebar
Menurut Media, masalah ini diperparah oleh praktik penghindaran pajak yang dilakukan sebagian orang superkaya melalui skema internasional. Banyak dari mereka menempatkan aset di luar negeri, membuat perusahaan cangkang (shell company), dan melakukan transaksi atas nama entitas tersebut.
Dengan cara ini, keuntungan kapital yang seharusnya dikenakan pajak di Indonesia malah diklaim dan dipajaki oleh negara tempat perusahaan cangkang terdaftar. Ia menyatakan bahwa ketimpangan beban pajak akan berlanjut selama sistem pajak tidak dapat mengakses aset lintas negara.
“Orang kaya menaruh asetnya di luar negeri, membuat perusahaan cangkang, dan kemudian transaksi dilakukan atas nama perusahaan yang ada di luar negeri tersebut. Dan capital gainnya kemudian diklaim dan dipajaki oleh negara-negara yang ada di luar negeri tersebut,” ujarnya.
Pajak Lebih Membebani Kelompok Berpendapatan Rendah
Selain itu, struktur pajak Indonesia dianggap terlalu bergantung pada pajak konsumsi regresif, yang membebani kelompok berpendapatan rendah karena mereka membelanjakan sebagian besar pendapatannya untuk pajak sehari-hari.
Akibatnya, porsi pendapatan yang tersisa setelah pajak semakin kecil, tetapi orang kaya tetap memiliki kekayaan yang luar biasa. Kesimpangan ini memengaruhi keadilan sosial dan stabilitas ekonomi.
“Berbeda dengan masyarakat miskin. Masyarakat miskin itu menghabiskan bahkan 120 persen dari pendapatannya untuk spending. 20 persennya datang dari hutang bahkan,” pungkasnya.
Sumber Liputan6