Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan Hasto Kristiyanto dalam sidang pembacaan suray dakwaan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat (14/3/2025). (ANTARA/Agatha Olivia Victoria)
Jakarta – Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan Hasto Kristiyanto didakwa memberikan uang sebesar 57.350 dolar Singapura, atau setara Rp600 juta, kepada Wahyu Setiawan, anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2017–2022, pada tahun 2019 dan 2020.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Wawan Yunarwanto menyatakan bahwa uang diduga diberikan kepada Wahyu untuk mendorong KPU untuk menyetujui permohonan pergantian antarwaktu (PAW) Calon Legislatif Terpilih Daerah Pemilihan (Dapil) Sumatera Selatan (Sumsel) I atas nama Riezky Aprilia, anggota DPR periode 2019–2024, kepada tersangka Harun Masiku.
“Perbuatan melawan hukum dilakukan terdakwa bersama-sama dengan advokat Donny Tri Istiqomah; mantan terpidana kasus Harun Masiku, Saeful Bahri; dan Harun Masiku,” ujar JPU dalam sidang pembacaan dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Jumat.
Selain memberi suap, Hasto juga didakwa menghalangi atau menghambat penyelidikan kasus korupsi yang melibatkan Harun Masiku sebagai tersangka dari tahun 2019 hingga 2022, dengan meminta Nur Hasan, penjaga Rumah Aspirasi, untuk merendam telepon genggam Harun dalam air.
Setelah kejadian tangkap tangan Wahyu oleh KPK, perintah diberikan. Diduga Hasto juga memerintahkan ajudannya, Kusnadi, untuk menenggelamkan telepon genggam untuk menghindari upaya paksa penyidik KPK.
Dengan demikian, Pasal 21 dan Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 65 Ayat (1) dan Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 jo. Pasal 64 Ayat (1) KUHP, mengatur ancaman pidana yang mengancam Hasto.
Kasus ini dimulai ketika KPU mendapatkan informasi bahwa Nazarudin Kiemas, calon legislatif DPR dari PDI Perjuangan dari Dapil Sumsel I, meninggal dunia pada 26 Maret 2019.
Menindaklanjuti informasi tersebut, KPU mengirimkan surat kepada DPP PDI Perjuangan. Pada 11 April 2019, DPP membenarkan informasi tersebut.
Selain itu, KPU mengadakan pemungutan suara ulang, di mana Riezky Aprilia mendapat suara terbanyak dengan 44.402 suara sah, sementara Harun Masiku hanya menerima 5.878 suara.
Selanjutnya, Hasto menghubungi Donny dan Saeful untuk memberi tahu mereka bahwa keputusan Partai adalah bahwa Harun harus mendapatkan bantuan untuk menjadi anggota DPR.
Pada 5 Agustus 2019, DPP PDI Perjuangan juga mengirimkan surat kepada KPU tentang Permohonan Pelaksanaan Putusan Mahkamah Agung Nomor 57P/HUM/2019 tanggal 19 Juli 2019, yang dimaksudkan untuk memberikan suara kepada Harun untuk calon yang meninggal dunia atas nama Nazarudin Kiemas.
Sebagai tanggapan atas surat yang dikirim oleh DPP PDI Perjuangan, pada tanggal 26 Agustus 2019, KPU mengeluarkan surat yang pada dasarnya menolak permohonan DPP PDI Perjuangan karena melanggar peraturan perundang-undangan.
Saeful kemudian menenui Riezky di Hotel Shangrila Orchard Singapura pada 25 September 2019 untuk memberi tahu dia bahwa Hasto memerintahkannya untuk meminta Riezky mundur sebagai Caleg Terpilih Dapil Sumsel I.
“Atas permintaan terdakwa tersebut, Riezky menolaknya,” ucap JPU.
Di Kantor DPP PDI Perjuangan pada 27 September 2019, JPU menyatakan bahwa Hasto juga memanggil Riezky dan memintanya mengundurkan diri sebagai Caleg Terpilih Dapil Sumsel I. JPU juga menyatakan bahwa Hasto menahan surat undangan pelantikan Riezky.
Namun, Riezky tetap menolak untuk berhenti. Hasto terus berupaya menjadikan Harun Masiku sebagai anggota DPR setelah seluruh calon anggota DPR terpilih, termasuk Riezky, dilantik pada 1 Oktober 2019.
Pada 5 Desember 2019, Saeful juga bertanya kepada Agustiani Tio Fridelina, mantan narapidana dalam kasus suap pergantian antarwaktu (PAW) Harun Masiku, tentang biaya operasional yang dibutuhkan Wahyu untuk meloloskan pergantian Riezky sebagai anggota DPR dari Dapil Sumsel I ke Harun.
Kemudian, Agustiani menyampaikan pesan dari Saeful kepada Wahyu bahwa telah disiapkan biaya operasional untuk Wahyu sebesar Rp750 juta, namun Wahyu meminta biaya operasional sebesar Rp1 miliar.
“Saeful pun melaporkan permintaan Wahyu tersebut kepada terdakwa dan terdakwa menyetujuinya,” ungkap JPU.
Menurut JPU, Wahyu dan Agustiani bertemu dengan Saeful di Mal Pejaten Village pada 17 Desember 2019 untuk mengajukan permohonan bantuan. Saeful menyerahkan kepada Agustiani uang muka operasional sebesar 19 ribu dolar Singapura (sekitar Rp200 juta) setelah pembicaraan selesai.
Setelah itu, uang diberikan kepada Wahyu sebesar 15 ribu dolar Singapura, dan Agustiani menerima sisa 4 ribu dolar Singapura.
Saeful kembali menyerahkan uang sebesar 38.350 dolar Singapura, atau setara Rp400 juta, kepada Agustiani pada 26 Desember 2019 di Plaza Indonesia melalui Ilham Yulianto. Namun, atas perintah Wahyu, Agustiani menyimpan uang itu terlebih dahulu.
Pada 8 Januari 2020, Wahyu kemudian menghubungi Agustiani untuk meminta Rp50 juta dari Saeful untuk mengganti biata pertemuan Wahyu dengan Donny dan Saeful.
“Sebelum mengirimkan uang itu, Wahyu dan Agustiani serta Saeful dan Donny diamankan petugas KPK berikut uang sejumlah 38.350 dolar Singapura dari Agustiani,” ucap JPU.
Sumber Antaranews