RA Kartini. Foto: Arsip Nasional RI
Jakarta – Pada 2 Mei 1964, Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 108 Tahun 1964 menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional, yang diperingati setiap tahun pada 21 April.
Pada era Kartini, perempuan tidak diizinkan untuk memilih pasangan sendiri, mengenyam pendidikan tinggi sebagaimana laki-laki, dan hal lainnya.
Sekolah Kartini
Sosok penting dalam dunia pendidikan ini meninggal pada usia yang sangat muda. Ia lahir pada tahun 1879 dan meninggal pada September 1904 pada usia 25 tahun.
Namun, pada tahun 1912, seorang politisi etis bernama Van Deventer mendirikan Yayasan Kartini untuk menghormati Kartini.
Dikutip dari buku Pengantar Pendidikan tulisan Ratna Pangastuti, Yohanes Nong Bunga, dan Idah Hamidah, yayasan tersebut bertugas mengelola Sekolah Kartini yang didirikan di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon, dan daerah lainnya. Sekolah yang pertama didirikan di Semarang pada 1913.
Kartini juga telah berusaha untuk memberikan pendidikan perempuan selama hidupnya.
Ia mendirikan kelas untuk para gadis di rumahnya yang mengajarkan membaca, menulis, berhitung, dan keterampilan seperti memasak, menjahit, dan kerajinan tangan.
Dikutip dari Sejarah untuk SMP dan MTs oleh Nana Nurliana dan Sudarini Suhartono, pemikiran Kartini terhadap pendidikan dapat dilihat dari surat-surat Kartini yang diterbitkan oleh JH Abendanon dengan judul Door Duisternis tot Licht atau Habis Gelap Gelap Terbitlah Terang.
Melalui surat-suratnya, RA Kartini menyatakan bahwa perempuan memerlukan pendidikan dan kebebasan untuk maju. Selain itu, pendidikan dan pengetahuan sangat penting bagi kaum perempuan, terutama ibu, yang bertanggung jawab atas kehidupan rumah tangga.
Kartini berpendapat bahwa seorang ibu harus memiliki wawasan luas jika mereka ingin mendidik anak-anaknya dengan baik.
Dikatakan dalam buku Sejarah Daerah Jawa Tengah terbitan Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Dirjen Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional (1994), surat Kartini pertama kali diterbitkan pada 1911. Pada 1923 dicetak untuk yang keempat kalinya dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Inggris, Arab, dan Prancis.
Kartini sendiri tinggal dalam keluarga yang berpendidikan. Ia adalah putri bupati Jepara Raden Mas Adipati Ario Sostroningrat, seorang bupati yang pertama kali mendapatkan pendidikan Barat.
Kartini pun memperoleh pendidikan formal, tetapi hanya sampai Europese Lagere School (ELS).
Sumber Detiknews