Bani Cham di Vietnam. Foto: Vietnam Tourism
Jakarta – Keyakinan yang dianut oleh komunitas Muslim Cham Vietnam yang belum banyak diketahui menarik perhatian. Komunitas ini tidak berpuasa Ramadan seperti umat Islam pada umumnya.
Menurut penelitian Ba Trung yang berjudul Bani Islam Cham di Vietnam (2008), Ramadan bagi komunitas Muslim Cham adalah bulan di mana mereka belajar untuk menjadi pemuka agama baru, mempersiapkan untuk kematian, dan membersihkan diri. Mereka memiliki kebiasaan untuk tidak berpuasa selama bulan yang mereka sebut “Ramuwan” ini.
Keluarga penganut Islam ini membuat persembahan makanan di atas nampan untuk para pemuka agama yang datang ke masjid selama bulan Ramadan. Mereka melakukan persembahan ini sebagai bukti cinta mereka kepada Allah SWT.
Selama tiga hari, para pemimpin agama akan melakukan meditasi tanpa berbicara, makan, atau minum apa pun. Setelah tiga hari, mereka akan berdakwah di masjid selama lima belas hari.
Muslim Cham di Vietnam tidak hanya tidak menjalankan puasa Ramadan, tetapi mereka juga tidak menjalankan salat lima waktu karena mereka percaya bahwa orang yang mereka sebut Acar dapat mewakili salat fardhu.
Sebuah penelitian pada 1999 berjudul The Cham Muslims of Vietnam oleh Jay Willoughby mengungkap penyebab perbedaan ajaran Islam yang dianut Muslim Cham dengan umat Islam pada umumnya adalah proses islamisasi yang tidak menyeluruh. Pertempuran yang terjadi saat Islam mulai menyebar di kalangan aristokrasi Kerajaan Champa menghambat dakwah tersebut. Akibatnya, ajaran Islam yang sampai pada mereka tidak utuh.
Tak hanya pada Muslim Cham di Vietnam, perhatian pembaca juga tertuju pada temuan sains yang membuktikan firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surah At-Tur ayat 6 tentang adanya api di dasar laut.
Allah SWT berfirman,
وَالْبَحْرِ الْمَسْجُوْرِۙ ٦
Artinya: “dan demi lautan yang dipanaskan (di dalamnya ada api),”
Terjemahan lainnya “Demi lautan yang terbakar (terpanaskan).” Ada juga yang menerjemahkan “dan (demi) laut yang berapi.”
Menurut keterangan dalam Tafsir Al-Azhar yang ditulis Buya HAMKA terkait firman Allah SWT tersebut, air laut itu menggelegak, yang pada hakikatnya gelegak itu menunjukkan bahwa air tersebut mengandung panas. Buya HAMKA memaknai panas ini sebagai mengandung api.
Keterangan tersebut diperkuat dengan firman Allah SWT lainnya,
وَاِذَا الْبِحَارُ سُجِّرَتْۖ ٦
Artinya: “Demi apabila lautan telah mendidih.” (QS At-Takwir: 6)
Terjemahan Kemenag, “apabila lautan dipanaskan,”
Kalam Allah SWT 14 abad lalu itu kini terbukti kebenarannya. Sejumlah ahli geologi menemukan gunung berapi aktif di dasar laut. Temuan aktivitas gunung berapi di laut Omurodashi, selatan Pulau Izu-Oshima, Jepang yang dipublikasikan pada 2012 dan temuan di kedalaman hampir satu mil di bawah permukaan lepas pantai Pasifik Kanada pada 2023 menjadi bukti kuat fenomena ini.
Penulis Buku Pintar Sains dalam Al-Qur’an (Mausu’ah al-I’jaz al-Qur’ani), Nadiyah Thayyarah, pernah membahas bukti sains soal api di dasar laut ini. Lautan memiliki palung-palung di kedalaman 65-150 kilometer yang membuat seluruh dasar laut dan samudra terpanaskan karena bebatuan magma terdorong keluar dari perut bumi. Batuan magma yang panasnya melebihi 1.000 derajat Celsius berasal dari aktivitas di ‘zona lemah’.
Sumber DetikHikmah