Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani. (ANTARA/Anita Permata Dewi)
Jakarta – Komnas Perempuan, atau Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, menyambut baik kebijakan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan yang menghapus praktik sunat perempuan.
“Komnas Perempuan mendorong agar kebijakan penghapusan sunat perempuan tidak hanya untuk bayi, balita, dan anak prasekolah, tapi juga berlaku pada perempuan di semua umur,” ujar Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.
Komnas Perempuan melihat bahwa kebijakan untuk menghentikan praktik sunat perempuan adalah bagian dari upaya kesehatan sistem reproduksi sesuai siklus hidup dan diarahkan pada usia bayi, balita, dan anak prasekolah, sesuai dengan Pasal 100-102 PP Kesehatan.
Dia menyatakan bahwa Pasal 102 menyatakan bahwa upaya kesehatan sistem reproduksi harus mencakup minimal menghapus praktik sunat perempuan dan memberikan pengetahuan tentang organ reproduksi kepada balita dan anak prasekolah.
Kemudian mengajarkan tentang perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam organ reproduksi, tentang cara menghindari sentuhan terhadap organ reproduksi dan bagian tubuh yang dilarang untuk disentuh, tentang cara hidup yang bersih dan sehat pada organ reproduksi, dan tentang memberikan perawatan klinis medis untuk kondisi tertentu.
Menurut Permenkes Nomor 1636/PER/MENKES/XI/2010 tentang sunat perempuan, menggores kulit bagian depan klitoris tanpa melukai klitoris didefinisikan sebagai sunat perempuan.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan sunat perempuan atau mutilasi alat kelamin perempuan sebagai segala prosedur yang melibatkan pengangkatan bagian luar alat kelamin wanita, baik sebagian maupun seluruhnya, atau cedera lain pada alat kelamin wanita karena alasan non-medis.
Komite Perempuan menggunakan istilah pemotongan/pelukaan genitalia perempuan (P2GP) yang dibuat oleh Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Dana Kependudukan (UNFPA) untuk menggambarkan praktik tersebut.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Komnas Perempuan dan PSKK UGM pada tahun 2017 menemukan bahwa P2GP biasanya terjadi pada usia anak-anak. Yang tertinggi terjadi pada rentang 1-5 bulan (72,4 persen), disusul rentang 1-4 tahun (13,9 persen), 0 bulan (5,3 persen), 6-11 bulan (5,1 persen), dan 5-11 tahun (3,3 persen).
Seperti yang ditunjukkan oleh data SPHPN 2021, sekitar 21,3 persen anak perempuan dari usia 15-49 tahun yang tinggal bersama menjalani praktik sunat perempuan dengan kriteria WHO atau dengan pemotongan atau pelukaan, dan sekitar 33,7 persen melakukan sunat secara simbolis.
“Pada tahun 2024 hampir 4,4 juta anak perempuan atau lebih dari 12.000 setiap hari berisiko mengalami praktik ini di seluruh dunia,” kata dia.
Lebih jauh penelitian Komnas Perempuan Bersama PSKK UGM menunjukkan bahwa 92 persen alasan keputusan orang tua dipengaruhi oleh pemahaman agama mengenai sunat perempuan sebagai perintah agama.
Namun, temuan penelitian Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) yang dilakukan pada tahun 2022 menunjukkan bahwa ada berbagai interpretasi keagamaan Islam tentang sunat perempuan.
KUPI juga melarang P2GP tanpa alasan medis. Studi yang dilakukan oleh Komnas Perempuan dan PSKK UGM juga menemukan bahwa ada cara orang tua melihat sunat perempuan berguna bagi anak perempuan.
Namun, bukti medis menunjukkan bahwa sunat perempuan membahayakan kesehatan fisik dan mental anak perempuan.
“Secara khusus praktik sunat perempuan dengan memotong jaringan atau bagian dari organ tubuh yang sehat dapat menimbulkan infeksi, kerusakan organ reproduksi, dan permasalahan kesehatan jangka panjang bagi anak perempuan, bahkan kematian karena pendarahan,” kata dia.
Sunat perempuan, yang sering kali disebut sebagai Female Genital Mutilation (FGM), telah lama menjadi isu kontroversial dan banyak dikritik karena dampaknya terhadap kesehatan dan hak asasi manusia. Dengan penghapusan praktik tersebut dalam PP 28/2024, diharapkan akan ada pengurangan dalam risiko kesehatan.
Sumber Antaranews