Ilustrasi – Logo parpol PDIP. (Dok Antara)
Jakarta – Deddy Sitorus, Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Pemenangan Pemilu Eksekutif, mengapresiasi keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXII/2024, yang berkaitan dengan gugatan terhadap UU Pilkada.
Dengan demikian, undang-undang ini memberikan kesempatan kepada lebih banyak partai politik untuk mencalonkan kandidat mereka sendiri dalam Pilkada Serentak 2024.
“Soal putusan MK harus dilihat sebagai kemenangan melawan oligarki partai politik yang hendak membajak demokrasi dan kedaulatan rakyat dengan strategi kotak kosong,” kata Deddy dalam keterangannya di Jakarta, Selasa.
MK membuat keputusan bahwa syarat untuk mengusung paslon di Pilkada tidak lagi mencakup kursi di DPRD.
Oleh karena itu, ambang batas perolehan suara sah partai politik atau gabungan partai politik dikaitkan dengan jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2024 di masing-masing daerah.
MK menetapkan empat kategori besaran suara sah: 10%, 8%, 7%, dan 6%.
Dia menyatakan bahwa keputusan ini harus dipandang positif karena memastikan bahwa lebih dari satu pasang calon hadir dalam pilkada dan provinsi. Semakin banyak calon, tentu lebih banyak calon pemimpin yang dapat dipertimbangkan oleh rakyat.
Dia berpendapat bahwa rakyat menang dan partai politik oligarki antidemokrasi kehilangan.
Dengan putusan MK ini, sambung Deddy, maka politik mahar dalam pilkada provinsi dan kabupaten/kota bisa ditekan seminimal mungkin. Hal ini membuat partai politik dipaksa untuk mengusung orang-orang terbaik sebagai calon kepala daerah.
“Putusan ini juga memberi kesempatan bagi partai-partai non-parlemen untuk ikut berpartisipasi dalam pilkada. Dengan demikian tidak ada suara rakyat yang hilang. Bagi partai-partai yang ada di Parlemen tentu ini akan mendorong proses kaderisasi dan rekrutmen calon yang lebih baik,” pungkas Deddy.
Sebelum ini, Mahkamah Konstitusi memutuskan melalui Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 untuk mengubah ambang batas untuk pemilihan calon kepala dan wakil kepala daerah.
Dengan keputusan ini, MK mengizinkan partai politik yang tidak memperoleh kursi di DPRD untuk mencalonkan pasangan calon. Penghitungan syarat untuk mengusulkan pasangan calon melalui partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu hanya didasarkan pada hasil perolehan suara sah dalam pemilu di daerah yang bersangkutan.
“Amar putusan, mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusan untuk perkara yang diajukan Partai Buruh dan Partai Gelora itu di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Selasa.
Dalam kasus ini, Partai Buruh diwakili oleh Said Iqbal sebagai Presiden dan Ferri Nurzali sebagai Sekretaris Jenderal. Partai Gelora diwakili oleh Muhammad Anis Matta sebagai Ketua Umum dan Mahfuz Sidik sebagai Sekretaris Jenderal.
Pada kasus ini, Pasal 40 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada) dipersoalkan oleh Partai Buruh dan Partai Gelora.
Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada tersebut bertentangan dengan UU Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945, menurut MK.
“Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 menghendaki pemilihan kepala daerah yang demokratis tersebut salah satunya dengan membuka peluang kepada semua partai politik peserta pemilu yang memiliki suara sah dalam pemilu untuk mengajukan bakal calon kepala daerah agar masyarakat dapat memperoleh ketersediaan beragam bakal calon, sehingga dapat meminimalkan munculnya hanya calon tunggal, yang jika dibiarkan berlakunya norma Pasal 40 ayat (3) UU 10/2016 secara terus menerus dapat mengancam proses demokrasi yang sehat,” kata Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih membacakan pertimbangan hukum.
Karena Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada merupakan tindak lanjut dari Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada, MK juga harus menilai konstitusionalitas Pasal 40 ayat (1) secara keseluruhan.
Menurut MK, ambang batas perolehan suara sah partai politik atau gabungan partai politik untuk mengusulkan pasangan calon kepala daerah tidak rasional. Ini terjadi jika persyaratan pengusulannya lebih tinggi daripada persyaratan untuk pasangan calon yang diusulkan melalui jalur perseorangan.
“Oleh karena itu, syarat persentase partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu untuk dapat mengusulkan pasangan calon harus pula diselaraskan dengan syarat persentase dukungan calon perseorangan. Sebab, mempertahankan persentase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 Ayat (1) UU 10/2016 sama artinya dengan memberlakukan ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi bagi semua partai politik peserta pemilu,” kata Enny.
Oleh karena itu, MK membuat keputusan bahwa Pasal 40 Ayat (1) UU Pilkada juga harus dianggap inkonstitusional secara bersyarat jika tidak diartikan sebagaimana disebutkan di atas.
Sumber Antaranews